Iseng kupilih judul ini karena mengingatkanku akan kisah berbagai perjalanan orang: perjalanan hidup, wisata, perdagangan, dan entah apa lagi. Dari Jalan 'Sutra' (silk road), Jalan 'Samurai' (the way of the sword), sampai Jalan-Jalan yang lain. Jalan Pena - biarlah menjadi jalanku belajar menulis. Menuliskan apa saja yang kutemui di perjalanan 'ziarah'ku dari hari ke hari. Pak Guru-ku bilang belajarlah menuliskannya kalau engkau tidak pandai mengatakannya. 'Baiklah' begitu kataku.' I will try...'

14 Oct 2010

Urban Soundscape

Aku berjalan terus pagi itu, menyusuri ruang di pusat kota Sheffield. Belum banyak orang, masih sepi. Gemericik suara air mancur dari kolam di depan Townhall memecah kesunyian pagi itu. Samar-samar di kejauhan terdengar suara tram lewat yang barangkali akan berulang lagi 10-20 menit kemudian. Tiba di depan Sheffield Cathedral, tiba-tiba lonceng gereja berdentang-dentang keras sekali mengingatkanku akan suara azan masjid di dekat rumahku di Jogja yang tidak pernah lagi kudengar sejak aku di sini.

(Sheffield Cathedral, salah satu landmark kota Sheffield)

Dulu waktu masih kecil dan tinggal di rumah orang tuaku di Jogja, setiap subuh dan magrib pasti kudengar suara orang melantunkan bait-bait ayat suci dari masjid Syuhada di kawasan Kotabaru. Atau lonceng Gereja Kotabaru di pagi hari. Terdengar indah dan syahdu. Juga di bulan puasa, menjelang magrib, kita bisa mendengarkan bunyi 'sirine' penanda waktu buka yang didengarkan dari hotel 'Tugu' di kawasan Stasiun Tugu. Dengan tingkat kepadatan penduduk yang makin bertambah dan suara berisik lalu lintas di jalan yang makin padat, suara-suara yang khas itu sudah makin sulit didengar. Ditambah saat ini banyak sekali pengeras suara yang dipasang tanpa aturan sehingga alih-alih menentramkan, malahan berisik dibuatnya.
Ancaman terhadap 'soundmark' di kota-kota Indonesia yang makin besar seharusnya menjadi keprihatinan kita bersama.

Infrastruktur kota sebetulnya dapat didesain menjadi pembangkit bunyi yang dapat membantu pemakai ruang kota bergerak di dalamnya. Suara bagus untuk membangun kreativitas. Hubungan antara yang kita dengar, lihat dan rasakan akan memberi emosi yang lebih. Seperti melihat sebuah film itu lho. Barangkali memang benar kalau dikatakan kesuksesan sebuah film sangat dipengaruhi oleh 'soundtrack'nya. Ibarat sebuah film, kota juga menampilkan sebuah cerita melalui adegan orang-orang yang beraktivas dalam sebuah ruang, di jalan, di taman, dan di berbagai ruang terbuka. Sekarang bagaimana arsitek merancang infrastruktur kota agar bisa membangkitkan suara-suara yang enak didengar, yang harmonis, dan membantu pengguna mengalami ruang kota dengan nyaman. Entah melalui suara gemericik air dari desain air mancurnya, entah dari gesekan daun-daun di tamannya, entah dari gesekan angin yang mengenai material bangunannya, entah dari suara kendaraan yang lalu lalang di situ, atau bahkan dari teriakan pedagang yang menjajakan dagangannya di ruang publik di situ.

"...Give a city a new soundtrack and people will have a total new experience ..."

19 Sept 2010

Future Cities-Sustainable Cities ?

Dalam 'keynote speech'nya yang berjudul 'A global revolution in urban and rural living' hari itu, Peter Head, Director of Planning and Integrated Urbanism-nya Arup menggambarkan proyek penelitian globalnya tentang bagaimana 9 milyar orang dapat hidup dengan cara yang 'sustainable' di bumi ini pada tahun 2050. Kebijakan dan investasi apa saja yang dibutuhkan untuk mencapai hal itu termasuk bagaimana mensiasati perubahan iklim, penurunan sumber daya, dan kerusakan keberagaman hayati. Penelitian tersebut menggunakan dasar bukti-bukti di lapangan yang dijumpainya di berbagai negara untuk membangun visi masa depan yang sejalan dengan model 'ecological age' seperti di Copenhagen, London, Cina (aku lupa nama kotanya), dsb. Melalui feedback dari pengalamannya di 25 negara, dia mendiskusikan penemuannya dan menampilkan pendekatan dalam teknologi, urban desain, dan desain arsitektur.

Mendengarkan apa yang dia sampaikan, rasanya impian-impian itu sudah lama terdengar. Dan bukankah memang demikian bahwa ide tentang 'sustainable cities', 'green citie's, dan sebangsanya itu sudah lama ada ? Tapi mungkin memang benar apa yang dia sampaikan dan barangkali perlu digarisbawahi bahwa ternyata ide tentang 'sustainable cities' itu masih berbeda-beda dipahami oleh orang di berbagai penjuru bumi.

Saat coffee break, seorang Profesor dari NUS yang baru seminggu sebelumnya mengunjungi Tokyo, menceritakan keheranannya bagaimana Jepang yang sudah demikian maju di benua Asia, sama sekali tidak disinggung dalam pidato itu. "Something missing ?"."I don't know" jawabnya sendiri. Dia bercerita bagaimana Jepang sangat peduli dengan usaha-usaha 'recycling' sehingga tempat sampah pun dibuat untuk wadah berbagai macam material supaya sampah itu bisa didaur ulang dengan mudah. Namun herannya di sisi lain ternyata ada praktek-praktek di Jepang yang sangat 'boros' dan tidak sustainable seperti cara mereka 'packing/wrapping'. Jadi dia melihat ada sesuatu yang kontradiksi di situ.Dia berpikir barangkali 'sustainability' di Jepang, identik dengan konsep 'back to nature' yang sejalan dengan budhisme. Tapi apa benar begitu, dia sendiri juga menjawab 'I don't know'.....????

Jadi sekarang bagaimana supaya konsep dan gambaran tentang 'sustainable cities' dapat dipahami sama oleh semua orang ??????

15 Sept 2010

Kesan pertama dan selanjutnya...

'Sistem trasportasinya coooooooolll....', begitu pikirku waktu menginjakkan kaki di hari pertama di kota Zurich. Dari bandara orang bisa pake bis, tram, atau kereta untuk mencapai pusat kota. Informasinya cukup jelas menurutku, terlepas dari bahasanya, yang barangkali lebih mudah dimengerti oleh mereka yang fasih berbahasa German :).

Seperti di negara maju lainnya, sistem transportasinya sangat 'reliable' dan tepat waktu. Sedikit beda dengan London, di sini tram dan bis sudah dilengkapi dengan monitor di dalamnya yang terhubung dengan sistem komputer, sehingga orang bisa melihat rute dan pemberhentian berikutnya serta waktu yang akan ditempuh sampai ke menit-menitnya. Tidak ada kondektur di dalam tram atau bis. Cukup membeli tiket yang harus divalidasi sebelum naik ke angkutan itu. Betul-betul memanfaatkan teknologi tingkat tinggi. Semua serba otomatis.

Kubandingkan dengan sistem transportasi di Sheffield-UK tempatku sementara tinggal. Di sana tram masih pake kondektur, dan rute perjalanannya pun masih tercetak sebagai gambar yang terpampang di dalam dinding tram. Ada sih monitor seperti itu, hanya tempatnya bukan di dalam tram atau bus, tetapi di beberapa halte atau di stasiun saja.

Namun di hari kedua, tiba-tiba kulihat ada yang berbeda di tempat pemberhentian tram ini dengan tempat pemberhentian tram di Sheffield. Tidak kulihat garis kuning sebagai pembatas 'safety line', tidak kulihat perbedaan tekstur di lantainya untuk menjadi penanda bagi para tuna netra dimana harus menunggu dan tahu pintu masuk ke tram. Masih penasaran, kulihat lagi tramnya. Wah ya pantas nggak ada 'disable people' yang pake tram ini (kebetulan waktu itu aku naik tram no 14- Seebach-Triemli). Tramnya saja berundak, gimana para 'disable people' ini mau naik?

Rasanya agak janggal saja melihat di satu sisi teknologi yang dipakai untuk menjalankan tram sudah begitu maju, namun di sisi lain fasilitas bagi 'disable people' agak sedikit tertinggal. Tidak mungkin negara semaju Switzerland dengan fasilitas yang boleh dikatakan kelas satu, mengabaikan mereka-mereka yang mobilitasnya terbatas.
Akhirnya penasaranku terjawab saat kulihat di website, ternyata memang belum semua rute memiliki fasilitas untuk 'disable people'. Meskipun demikian secara bertahap sejak tahun 2001 mereka membangun dan memberikan alternatif rute2 yang bisa dipilih mereka agar mobilitasnya tidak terhambat meskipun barangkali harus berpindah-pindah moda. Diharapkan pada tahun 2014, fasilitas transportasi bagi para 'disable' ini sudah lengkap untuk semua rute.

12 Sept 2010

Second Life-Virtual World

'Virtual' mother's house of horrors'. Itulah headline yang ditampilkan harian Metro hari itu (13/09). Kisah tentang seorang ibu yang menelantarkan ketiga anaknya dan membiarkan 2 anjing piaraannya mati kelaparan setelah terobsesi dengan 'computer game' dan menarik diri masuk ke dalam dunia virtual. Sebelumnya kira-kira 3 bulan sebelumnya di harian yang lain 'Daily mail'(04/06) juga menayangkan berita tentang seorang ibu yang menghilang dan meninggalkan suami dan anaknya karena terobsesi dengan 'virtual reality game online'.

Pro dan kontra. Itulah yang sampai saat ini terus bergulir dengan hadirnya 'virtual world' berbasis internet. Ide tentang dunia virtual dengan manusia yang bisa berpindah keluar masuk di dalamnya telah muncul dalam novel science fiction Neuromancer-nya William Gibson (1984) dan Snow Crash-nya Stephenson (1993) sebelum akhirnya muncul di tahun 2010 dalam film 'AVATAR' yg dirilis beberapa bulan yang lalu.
deFreitas dalam laporannya untuk JISC(2008) mengidentifikasi ada sekitar 80 aplikasi virtual world di tahun 2008, dan diperkirakan sekitar 100 lainnya pada tahun 2009.

Walaupun tidak selalu, namun dengan teknologi yang makin maju saat ini, desain dunia virtual bukan tidak mungkin dibangun makin menyerupai kondisi nyata. Melihat peluang yang ditawarkan oleh teknologi ini, di negara2 maju banyak dikaji penggunaan serious virtual world ini untuk pembelajaran (learning).

'The virtual world have the real capability to offer very practical engagement and social interactions with realistic contexts..'

Second Life yang dikembangkan oleh Linden Lab tahun 2003 termasuk salah satu 'Social Worlds' yang banyak digunakan perguruan tinggi di UK untuk pembelajaran. Di Second Life, setiap orang bisa memilih Avatar sebagai representasi diri di dunia maya. Selain itu orang juga dapat membeli real estate atau investasi lahan di dunia maya itu layaknya di dunia nyata. Maka jangan heran kalau di dalamnya pun benar2 terjadi perputaran uang. Ketika masuk ke Second Life kita pun bisa bertemu banyak orang dari berbagai tempat di dunia, dan berkomunikasi dengan mereka. Ya seperti facebook-lah hanya yang ini 3 dimensi.

Selain Second Life, kategori lain yang termasuk dalam Serious Virtual World adalah 'Mirror World' yaitu '3D visualisations that mirror the physical world'. Salah satu contohnya adalah Google Earth. Meskipun cukup familiar, ternyata penggunaan Google Earth untuk learning ini masih sangat rendah. Dengan kemampuan untuk menyatukan berbagai aplikasi yang berbeda tampaknya ke depan Google Earth menjadi pilihan yang menarik untuk dapat diaplikasikan di dunia pendidikan.

8 Sept 2010

Architecture of Everyday Life dan Everyday Architecture

Saat itu aku lagi menunggu tram di tempat aku biasa pergi. Sedikit kepagian hari itu. Tidak banyak sih, paling cuma 5 menit. Iseng kulihat jam, dan terlintas untuk menebak siapa berikutnya yang akan muncul di tempat itu.
Apakah pemuda tinggi yang suka pakai 'long coat' hitam ala the Matrix, ibu-ibu gendut setengah baya keriting yang ramah, atau anak muda trendy bergaya boys band itu? Dengan jam berangkat dan pulang di tempat pemberhentian yang sama, hampir pasti akan kujumpai orang-orang yang sama, selain beberapa orang yang sering kulihat melintas di tempat itu.

Menyadari hal itu, tiba-tiba aku teringat tulisan Ralph Waldo Emmerson yang dikutip oleh Steven Harris dalam bukunya Architecture of the Everyday:
"..instead of sublime and beautiful, the near, the low, the common, was explored and poeticized...the literature of the poor, the feelings of the child, the philosophy of the street...it is a great stride...when currents of warm life run into the hands and the feet..."(Ralph Waldo Emmerson "The American Scholar").

Menarik memang, mengamati pergerakan setip orang, termasuk ruang yang menjadi tempat pergerakannya. Barangkali ini pula yang melatarbelakangi mengapa 'everyday life' perlu dipertimbangkan sebagai alternatif pendekatan kritis agar desain ruang tidak semata-mata dipicu oleh paradigma konsumtif yang sangat mendominasi lahirnya praktek-praktek arsitektur kontemporer (Harris, S, 1997:3)

...an architecture of the everyday may be generic and anonymous...
...an architecture of the everyday may be banal or common...
...an architecture of the everyday may be quite ordinary...
...an architecture of the everyday may be crude...
...an architecture of the everyday may be sensual...
...an architecture of the everyday may be vulgar and visceral...
...an architecture of the everyday may acknowledges domestic life...
...an architecture of the everyday may take on collective and symbolic meaning but it is not necessarily monumental...
...an architecture of the everyday responds to program and is functional...
...an architecture of the everyday may change as quickly as fashion, but it is not
always fashionable...
...an architecture of the everyday may be generic and anonymous...
(Berke, D, 1997)


Tiba-tiba terdengar suara dari pengeras memberitahu bahwa supertram sudah mendekati pemberhentian di 'Valley Centertainment'. Sebentar lagi si pemuda tinggi itu akan turun di situ, kemudian akan disusul anak muda boys band di 'Attercliffe' dan si ibu gendut di 'Fitzalan Square'. Dan tentu saja setelah itu giliranku.